*Antara Sabar dan Syukur*
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Pasang surut yang mewarnai kehidupan sebuah rumah tangga tak hanya dalam hal hubungan pribadi antara suami dan istri, namun juga menyangkut anak dan rizqi. Kesabaran dan sikap syukur menjadi modal yang mesti dimiliki dalam hal ini.
Setiap insan yang hidup di muka bumi ini pasti pernah mengalami suka dan duka. Tak ada insan yang diberi duka sepanjang hidupnya, karena ada kalanya kemanisan hidup menghampirinya. Demikian pula sebaliknya, tak ada insan yang terus merasa suka karena mesti suatu ketika duka menyapanya. Bila demikian tidaklah salah pepatah yang mengatakan, “Kehidupan ini ibarat roda yang berputar”, terkadang di atas, terkadang di bawah. Terkadang bangun dan sukses, terkadang jatuh dan bangkrut, kadang kalah, kadang menang, kadang susah, kadang bahagia, kadang suka dan kadang duka… Begitulah kehidupan di dunia ini, kesengsaraannya dapat berganti bahagia, namun kebahagiannya tidaklah kekal.
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍt أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah di antara kalian serta berbangga-bangga dalam banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kalian lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada 'adzab yang keras/pedih dan ada pula ampunan dari Allah serta keridhoan-Nya. Kehidupan dunia itu tidak lain kecuali hanya kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 30)
Suka duka pun suatu kemestian yang dialami sepasang suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga, karena kesempitan atau kelapangan, kesulitan atau kemudahan datang silih berganti. Ketika diperoleh apa yang didamba, mereka bersuka. Tatkala luput apa yang diinginkan atau hilang apa yang dicintai, mereka berduka.
Sebagai seorang yang beriman kepada Allah dan mengimani takdir-Nya, sudah semestinya suka dan duka itu dihadapi dengan syukur dan sabar. Allah menggandengkan dua sifat ini di dalam firman-Nya:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّاٍر شَكُوْرٍ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi setiap orang yang banyak bersabar lagi bersyukur.” (Ibrohim:5)
Qotadah menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan, “Dia adalah hamba yang bila diberi bersyukur dan bila diuji bersabar.” (An-Nukat wal ‘Uyun, 3/122)
Rosulullah Shollallahu 'alaihi wasallam yang mulia telah mengabarkan bahwa mu'min yang sabar atas musibah/duka yang menimpanya dan bersyukur atas ni'mat/suka yang diterimanya akan mendapatkan kebaikan. Kabar gembira ini tersampaikan kepada kita lewat shahabat beliau yang mulia Shuhaib Ar-Rumi rodhiyallahu 'anhu. Shuhaib berkata: “Rosulullah pernah bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْـمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ لَهُ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan perkara seorang mu'min. Sungguh seluruh perkaranya adalah kebaikan baginya. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mu'min. Jika mendapatkan kelapangan ia bersyukur, maka yang demikian itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kemudhorotan/kesusahan ia bersabar, maka yang demikian itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 7425)
Ketika menjelaskan hadits di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rohimahullah menyatakan bahwa setiap manusia tidak lepas dari ketetapan Allah dan taqdir-Nya. Bisa jadi ia dalam kelapangan dan bisa jadi dalam kesempitan. Dalam hal ini manusia terbagi dua: mu'min dan selain mu'min. Seorang mu'min senantiasa dalam kebaikan pada setiap keadaan yang Allah taqdirkan baginya. Bila ditimpa kesusahan ia bersabar dan menanti datangnya kelapangan dari Allah serta mengharapkan pahala, maka ia pun meraih pahala orang-orang yang bersabar. Bila mendapatkan kelapangan berupa ni'mat agama seperti 'ilmu dan 'amal sholih, ataupun ni'mat dunia berupa harta, anak dan istri, ia bersyukur kepada Allah dengan Ta'at kepada-Nya, karena yang namanya bersyukur tidak sebatas mengucapkan “Aku bersyukur kepada Allah.” Adapun selain mu'min, mendapat kesempitan ataupun kelapangan sama saja baginya, karena ia selalu berada dalam kejelekan. Bila ditimpa kesempitan/kesusahan ia berkeluh kesah, mencaci maki, dan mencela Allah. Bila mendapat kelapangan ia tidak bersyukur kepada Allah, Dzat yang telah memberikan ni'mat. (Syarhu Riyadhish Sholihin, 1/108)
Seorang mu'min dan mu'minah dalam menjalani kehidupan rumah tangganya harus berada di antara kesyukuran dan kesabaran. Karena ia tak luput dari taqdir yang baik ataupun yang buruk. Mungkin ia belum dikaruniai anak, maka ia harus bersabar karena anak adalah pemberian Allah. Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan terkadang Dia menguji hamba-Nya dengan tidak segera atau tidak sama sekali memberinya keturunan.
لِلهِ مُلْكُ السَّماَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ. أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya). Dia pun menjadikan mandul siapa saja yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Asy-Syuro: 49-50)
Anak diperoleh bukan karena kemahiran seseorang, bukan karena kejantanan, kekuatan, atau kepandaiannya. Berapa banyak orang yang kuat dan memiliki keutamaan lagi kemuliaan namun Allah tidak memberinya keturunan. Lihatlah istri-istri Rosulullah, mereka tidak beroleh keturunan dari pernikahan mereka dengan Nabiyullah, kecuali Khodijah dan budak beliau Mariyah. Lihat pula Nabi Ibrohim dan Nabi Zakariyya, keduanya dikaruniai anak tatkala usia telah senja, tulang-tulang telah melemah, rambut telah dipenuhi uban dan istri pun telah tua lagi mandul. Lihat pula Maryam ibunda ‘Isa dikaruniai anak tanpa pernah menikah dan tanpa pernah disentuh oleh lelaki. Dengan demikian beroleh anak atau tidak, perkaranya kembali kepada Allah. Dia yang memberi dan Dia yang menahan.
Bila seseorang diberi ni'mat berupa anak, hendaklah ia bersyukur kepada Dzat yang telah memberikan anugerah. Namun bila tidak, maka tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang mu'min kecuali tunduk, sabar, ridho dengan ketetapan-Nya dan berbaik sangka kepada Allah, karena Dia tak pernah berbuat zholim kepada hamba-hamba-Nya. Dia Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya, sementara hamba-hamba-Nya tidak tahu apa yang baik bagi mereka.
وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Allah Maha Mengetahui sementara kalian tidak mengetahui.” (Al-Baqoroh: 216)
Dalam masalah rizqi juga demikian. Ketika seorang mu'min dalam kehidupan rumah tangganya tidak memperoleh rizqi yang lapang, dalam kemiskinan tiada berharta, ia pun harus bersabar. Karena kelapangan dan sempitnya rizqi, kaya atau miskinnya seseorang telah dicatat dan ditetapkan dalam catatan taqdir dengan keadilan Allah. Dia memberi rizqi kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia menyempitkannya kepada siapa yang Dia kehendaki, sementara Dia tidak berbuat zholim kepada hamba-hamba-Nya.
Ingatlah, keni'matan, kemegahan, dan kekayaan dunia bukan jaminan keselamatan di akhirat nanti. Kalaulah kekayaan itu suatu keutamaan dan keadaan yang paling afdhol niscaya Allah akan menjadikan kekasih-Nya, manusia pilihan-Nya, junjungan anak Adam, yakni Rosulullah, sebagai orang yang terkaya di dunia, bergelimang harta dan kemewahan.
Tapi ternyata tidak demikian kenyataannya. Beliau hidup dengan penuh kesahajaan dan kesederhanaan. Terkadang tidak ada makanan yang dapat disantap di rumah beliau sehingga beliau berpuasa. Dikisahkan hal ini oleh istri beliau yang sholihah Ummul Mu'minin ‘Aisyah rodhiyallahu 'anha:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ n ذَاتَ يَوْمٍ، فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ فَقُلْنَا: لاَ. قَالَ: فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ
Suatu hari Rosulullah masuk ke rumahku, lalu bertanya, “Apakah ada makanan pada kalian (yang bisa kumakan)?” “Tidak ada,” jawab kami. “Kalau begitu aku puasa,” kata beliau. (HR. Muslim no. 2708)
Sampai-sampai untuk membeli makanan, beliau pernah berhutang dengan menyerahkan baju besi beliau sebagai jaminan. Masih dari kisah Ummul Mu'minin ‘Aisyah:
اشْتَرَى رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُوْدِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيْئَةٍ، فَأَعْطَاهُ دِرْعًا لَهُ رَهْنًا
“Rosulullah pernah membeli makanan dengan pembayaran di belakang (akan dibayar pada waktu yang telah ditentukan), beliau memberi baju besinya kepada si Yahudi sebagai jaminan.” (HR. Muslim no. 4090)
Betapa sabarnya istri-istri Rosulullah dengan kekurangan dunia yang mereka terima selama hidup dengan suami mereka Rosulullah, dan beliau pun wafat tanpa meninggalkan warisan untuk mereka. Kata ‘Amr ibnul Harits, saudara Ummul Mu'minin Juwairiyyah bintul Harits:
ماَ تَرَكَ رَسُولُ اللهِ n عِنْدَ مَوْتِهِ دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَلاَ عَبْدًا وَلاَ أَمَةً وَلاَ شَيْئًا إِلاَّ بَغْلَتَهُ الْبَيْضَاءَ الَّتِي كَانَ يَرْكَبُهَا وَسِلاَحَهَا وَأَرْضًا جَعَلَهَا لِابْنِ السَّبِيْلِ صَدَقَةً
“Rosulullah tatkala wafatnya tidak meninggalkan dinar, dirham, budak laki-laki, budak perempuan, dan tidak meninggalkan harta sedikitpun kecuali seekor bigholnya yang berwarna putih yang dulunya biasa beliau tunggangi dan pedangnya serta sebidang tanah yang beliau jadikan sebagai sedekah untuk musafir.” (HR. Al-Bukhori)
Demikian sebagai anjuran untuk bersabar dengan kesulitan hidup…
Ketika rizqi datang pada si mu'min dan kelapangan hidup menyertainya maka rasa syukur kepada Allah harus diwujudkan. Tidak hanya mengucapkan syukur dengan lisan disertai keyaqinan hati, namun harus pula diiringi dengan 'amalan, yaitu membelanjakan harta tersebut di jalan yang diridhoi oleh Sang Pemberi Ni'mat dengan infaq dan sedekah.
Memiliki rasa syukur ini sungguh suatu keutamaan dan anugerah karena sedikit dari hamba-hamba Allah yang mau bersyukur, sebagaimana dinyatakan dalam Tanzil-Nya:
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Saba`: 13)
Siapa yang bersyukur, Allah akan menambah ni'mat-Nya. Adapun orang yang enggan untuk bersyukur, ia akan di'adzab:
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Apabila kalian bersyukur, Aku sungguh-sungguh akan menambah keni'matan bagi kalian dan sebaliknya bila kalian kufur ni'mat maka sungguh 'adzabku sangat pedih.” (Ibrohim: 7)
Hadapilah liku-liku kehidupan berumah tangga dengan sabar dan syukur, niscaya kebaikan akan diperoleh. Memang “Sungguh mengagumkan perkara seorang mu'min.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-showab.
No comments:
Post a Comment