Thursday, August 6, 2020

bukti kesesatan ajaran tashowwuf

KESESATAN KESESATAN AJARAN TASHOWWUF

Di antara sekian banyak kesesatan ajaran Tashowwuf adalah:

1. WIHDATUL WUJUD, yakni keyaqinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.

Demikian juga AL-HULUL, yakni keyaqinan bahwa Allah Ta'ala dapat masuk ke dalam makhluq-Nya.

Al-Hallaj, seorang dedengkot shufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluq-Nya dalam bentuk orang (yang sedang) makan dan minum.” (Dinukil dari Firoq Al-Mua’shiroh, karya Dr. Gholib bin ‘Ali Iwaji, 2/600)

Ibnu ‘Arobi, tokoh shufi lainnya, berkata: “Seorang hamba adalah Robb dan Robb adalah hamba. Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban ber'amal? Jika engkau katakan hamba, maka ia adalah Robb. Atau engkau katakan Robb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firoq Al-Mu’ashiroh, hal. 601)

Muhammad Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta, pen) dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
“Aku melihat Robbku dalam bentuk seorang pemuda.”
(Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harozim, 1/197, dinukil dari Firoq Mu’ashiroh, hal. 615)

Padahal Allah Ta'ala telah berfirman:

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuro: 11)

“Berkatalah Musa: "Wahai Robbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu." Allah berfirman: "kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatKu"…” (Al-A’rof: 143)

2. Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ibnu ‘Arobi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam). Betapa KUFURnya kata-kata ini…, tidakkah orang-orang shufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?

3. Keyaqinan kafir bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah makhluq dan makhluq adalah Allah Ta'ala, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya.

Ibnu ‘Arobi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).3

Padahal Allah Ta'ala telah berfirman:

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam: 93)

4. Keyaqinan bahwa tidak ada perbedaan di antara agama-agama yang ada.

Ibnu ‘Arobi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurot dan Mushaf Al Quran.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).

Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh shufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashroni, Brahmawi, dan Zarodasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”

Padahal Allah Ta'ala berfirman:

“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali 'Imran: 85)

5. Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shohih

Ibnu ‘Arobi berkata: “Kadangkala suatu hadits shohih yang diriwayatkan oleh para perowinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (shufi yang mengetahui 'ilmu ghoib dan bathin). Ia bertanya kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?” Maka beliau mengingkari seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shohih.” Maka diketahui dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa di'amalkan sebagaimana keterangan dari Robbnya walaupun para 'ulama meng'amalkan berdasarkan isnadnya yang shohih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).

6. Pembagian 'ilmu menjadi syari'at dan hakikat. Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyaqinan yang tinggi kepada Allah Ta'ala. Oleh karena itu, menurut keyaqinan shufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.**

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta'ala dalam Al Quran Surat Al-Hijr ayat 99: yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Robbmu hingga datang kepadamu keyaqinan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul 'ilmi dan iman, bahwa perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashroni karena Yahudi dan Nashroni beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyaqinan dengan sampainya kepada martabat hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, 11/401)

Beliau juga berkata: “Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri rohimahullah berkata: Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla tidak menjadikan batas akhir ber'amal bagi orang-orang beriman selain kematian, kemudian beliau membaca Al Quran Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: Dan beribadahlah kepada Robbmu hingga datang kepadamu kematian.”
Beliau melanjutkan: “Dan bahwasanya "Al-Yaqin" di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan 'ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/418)

7. Keyaqinan bahwa ibadah kepada Allah Ta'ala itu bukan karena takut dari 'adzab Allah (an-naar/ neraka) dan bukan pula mengharap jannah Allah Ta'ala.

Padahal Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

“Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (‘Ali 'Imran: 131)

“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Robb kalian dan kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (‘Ali 'Imran: 133)

8. Dzikirnya orang-orang awam adalah Laa ilaha illallah, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah  / Allah”, / huwa (dibaca: huu)”, dan / aah” saja.

Padahal Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Sebaik-baik dzikir adalah Laa ilaha illallah.” (HR. At-Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin 'Abdullah, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohih Al-Jami’, no. 1104).

Syaikhul Islam rohimahullah berkata: “Barangsiapa beranggapan bahwa Laa ilaha illallah adalah dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah / Huwa, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al-’Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqotut Tashowwuf, hal. 13)

9. Keyaqinan bahwa orang-orang shufi mempunyai 'ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan 'ilmu ghoib.

Allah Ta'ala dustakan mereka dalam firman-Nya:

“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghoib kecuali Allah.” (An-Naml: 65)

10. Keyakiqinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wa sallam dari nur/ cahaya-Nya, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wa sallam.

Padahal Allah Ta'ala berfirman :

“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110).

“(Ingatlah) ketika Robbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shod: 71)

11. Keyaqinan bahwa Allah Ta'ala menciptakan dunia ini karena Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wa sallam.

Padahal Allah Ta'ala berfirman:

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Demikianlah beberapa dari sekian banyak ajaran Tashowwuf, yang dari ini saja, nampak jelas kesesatannya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjauhkan kita dari kesesatan-kesesatan tersebut.

https://t.me/inifaktabukanfitnah/4474

Sumber, http://asysyariah.com/mewaspadai-sufi/

No comments:

Post a Comment