💻🖨 MAKRUH ATAU HARAM JIKA PERBUATAN INI DILAKUKAN OLEH ORANG YANG AKAN BERKURBAN 💻🖨
Di samping dia mengeluarkan harta untuk biaya pembelian hewan kurban, orang yang berkurban juga dihadapkan dengan beberapa amalan lain yang hendaknya dia lakukan.
Sebagian dari amalan-amalan ini ada yang wajib dan ada yang sunnah (di sini kita hanya mengulas satu poin).
Pertama, tidak memotong rambut, kuku, dan kulitnya saat sudah masuk tanggal satu dzulhijjah, terus demikian hingga disembelih hewan kurbannya.
Ini berdasarkan pada dua hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha berikut:
- Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
"Jika telah tiba sepuluh hari awal dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah ia mencukur rambut dan kulitnya sedikitpun." HR. Muslim (1977)
- Dan beliau ﷺ juga bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
"Jika kalian telah melihat hilal dzulhijjah sedang salah seorang dari kalian hendak berkurban; hendaknya ia tidak memotong rambut dan kukunya." HR. Muslim (1977)
Ulama berbeda pendapat tentang hukum perbuatan pada poin pertama ini.
• Madzhab Imam Syafi'i menyatakan bahwa memotong rambut, kulit, dan kuku saat telah masuk bulan dzulhijjah bagi yang hendak berkurban ialah makruh (tidak sampai haram, yang maknanya kalaupun dia lakukan maka tidak berdosa).
Meski hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha di atas berisikan larangan dari Nabi Muhammad ﷺ, yang secara hukum asal dari adanya sebuah larangan ialah hukum "haram". Namun terdapat hadits lain yang "memalingkan" hukum haram tersebut menjadi sebatas makruh, demikian pernyataan ulama Syafi'iyah. Yaitu hadits Aisyah radhiyallahu 'anha dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim, beliau menyatakan,
أَنَا فَتَلْتُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ، ثُمَّ قَلَّدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ، ثُمَّ بَعَثَ بِهَا مَعَ أَبِي، فَلَمْ يَحْرُمْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللَّهُ لَهُ حَتَّى نُحِرَ الْهَدْيُ.
"Aku pernah mengalungkan tanda hewan yang akan disembelih pada hadyu milik Rasulullah ﷺ dengan kedua tanganku, lalu beliau menuntunnya langsung sendiri kemudian mengirimkannya bersama ayahku (ke tanah haram). Dan sesudah itu, tidak ada sesuatu yang haram atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari perkara-perkara yang Allah halalkan hingga hewan tersebut disembelih." Muttafaqun 'alaihi
Dalam hadits ini bahkan Rasulullah ﷺ tidak hanya "ingin", namun sudah mengantar hewannya ke tanah haram; bersamaan dengan itu -kata Ummul Mu'minin Aisyah radhiyallahu 'anha- tidak ada sesuatu pun yang haram atas Rasulullah ﷺ.
Yang itu bermakna; bahwa larangan yang terdapat dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu 'anha sebatas makruh tidak sampai pada tingkatan haram. (Baca argumentasi ini dalam : Al-Hawi XV/73, Al-Majmu' VIII/362, Al-Mu'tamad II/487)
• Sedangkan dalam madzhab Hanbali, melakukan hal-hal yang tersebut di atas hukumnya adalah haram. Berpegang pada lahiriah hadits Ummu Salamah yang datang dalam konteks larangan.
▫ Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mempunyai sanggahan terhadap pendapat madzhab Syafi'iyah saat berdalil dengan hadits Aisyah di atas, beliau mengatakan,
"Hadits Aisyah hanyalah menunjukkan bahwa orang yang telah mengantar hadyu-nya dalam keadaan ia masih tinggal bersama keluarganya; statusnya tetap halal. Tidak berubah menjadi muhrim (orang yang ihram) sebatas karena sudah mengantar hadyu saja.
(Sebenarnya) ini merupakan sanggahan terhadap sebagian salaf yang mengatakan bahwa orang yang sudah mengantar hadyu statusnya menjadi seperti muhrim (Lihat : Shahih Muslim, 1321). Oleh karenanya Aisyah membawakan riwayat ini saat sampai pada beliau pendapat tersebut.
Sedangkan hadits Ummu Salamah; berisikan penjelasan bahwa orang yang ingin berkurban jangan dia memotong rambut dan kukunya saat telah masuk 10 pertama dzulhijjah.
Maka di mana letak pertentangan antara hadits Ummu Salamah dan Aisyah di sini?!
Oleh karenanya, Imam Ahmad dan selain beliau hakikatnya mengamalkan kedua riwayat ini sekaligus. Namun hadits Aisyah diamalkan sesuai konteksnya dan hadits Ummu Salamah juga diamalkan sesuai konteksnya. (Jami al-Fiqh, III/547)
Dari keterangan Imam Ibnul Qayyim di atas kita pahami, bahwa hadits Aisyah hakikatnya tidak bisa dijadikan sebagai "pemaling" hukum haram yang terdapat dalam hadits Ummu Salamah, sebab kedua riwayat ini memiliki konteks yang berlainan.
Sehingga nampaknya -wallahu a'lam- pendapat madzhab Hanbali yang mengatakan haram untuk melakukan hal-hal yang tersebut dalam hadits Ummu Salamah di atas lebih kuat.
✍ -- Arsip Tulisan Lama « dengan tambahan »
-- Hari Ahadi
_________________
▶️ Mari ikut berdakwah dengan turut serta membagikan artikel ini, asalkan ikhlas insyaallah dapat pahala.
•••
📡 https://t.me/nasehatetam
🖥 www.nasehatetam.net
No comments:
Post a Comment